Suhu Panas Indonesia, Antara Gelombang Panas? Vulkanisme? Ataukah Atmosferik Normal?

Dimas Prasetyo Nugroho
SMA Negeri 1 Mlati, Kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

Beberapa waktu terakhir dimulai sebelum tulisan ini dibuat, beberapa diantara kita disibukkan dengan kondisi cuaca yang terasa sangat panas baik pada siang maupun malam hari. Asumsi mulai bermunculan, mulai dari masyarakat umum, praktisi maupun akademisi. Hipotesis awal bahwa fenomena ini disebabkan karena adanya gelombang panas yang melanda Indonesia. Hipotesis kedua bertolak dari aktivitas vulkanik yang meningkat dan berpengaruh terhadap atmosfer kita. Paling kurang dua hipotesis ilmiah itulah yang mendasari dan sering digemakan dan menjadi sebuah keniscayaan (pada sebagian masyarakat kita-Indonesia).

Pertanyaan selanjutnya, apakah kedua hipotesis itu dapat dibuktikan?

Bukan tugas tulisan ini untuk menyatakan benar atau salah. Alih-alih demikian, tulisan ini mencoba memberikan pandangan yang sama sekali berbeda terhadap fenomena cuaca panas di musim pancaroba di Indonesia.
Sumber Gambar : T. Djamaluddin (Kepala LAPAN Republik Indonesia)
Pada gambar grafik di atas, yang diolah oleh T. Djamaluddin dari worldclimate.com, menggambarkan bahwa secara klimatologis, suhu di Indonesia adalah normal. Bahwa cuaca terasa panas pada musim pancaroba (peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau-sekitar bulan April atau Mei, dan musim kemarau ke musim penghujan-sekitar bulan Oktober) adalah fenomena atmosferik yang biasa. Bukan merupakan cuaca ekstrem, ataupun bencana klimatologi yang luar biasa. Fenomena panas di Indonesia adalah fenomena tahunan yang normal seperti yang ditunjukkan data klimatologi di atas.

Lalu, apa yang menyebabkan fenomena panas di beberapa kota Indonesia?

Menurut T. Djamaluddin, Kepala LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Republik Indonesia, terdapat 3 faktor yang menjadikan beberapa kota Indonesia terasa panas, diantaranya :
1. Posisi matahari berada di atas Indonesia (deklinasi matahari = lintang tempat). Pancaran sinar matahari tegak lurus pada tengah hari, sehingga energi atau insolasi (incoming solar radiation) yang diterima maksimal.
2. Liputan awan masih minim. Saat pancaroba, liputan awan tidak terlalu banyak, sehingga pemanasan permukaan bumi bisa maksimum karena tidak adanya cukup awan yang menyerap, memantulkan, atau menghamburkan energi matahari yang datang.
3. Berhentinya efek pendinginan dari angin yang berasal dari daerah musim dingin. Musim kemarau terjadi efek pendinginan angin dari Australia, dan ketikan musim hujan efek pendinginan berasal dari embusan angin asia. Hal ini dipengaruhi letak matahari pada bulan Desember berada di belahan bumi selatan, dan pada bulan Juni, matahari berada di belahan bumi utara.

Satu faktor lain yang berkontribusi adalah adanya urban hit island (Pulau Panas Perkotaan), dimana semakin tumbuhnya lahan yang sebelumnya belum terbangun menjadi lahan terbangun, penghilangan pepohonan perkotaan, peningkatan industri, peningkatan kendaran berbahan bakar fosil, termasuk aktivitas rumah tangga yang menghaislkan emisi CO2. Akumulasi emisi CO2 di atmosfer akan menghalangi pelepasan energi panas ke angkasa dan meningkatkan suhu permukaan.

Daftar rujukan :









Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Murid Oemar Bakrie

Diberdayakan oleh Blogger.

About me


Dimas Prasetyo Nugroho

Seseorang yang tidak tahu apa-apa, hanya ingin terus belajar dan sedikit berkarya, semampunya.



Cari Blog Ini

Label

Labels

Pages

About

Blogroll

Popular Posts

Label

Recent Posts

Geography Education

  • Physical Geography.
  • Human Geography.
  • Geography Techniques.

Pages

Belajar Geografi

Substansi materi Geografi sangat luas, dengan mempelajarinya, memahami konteks keruangannya, semoga sedikit banyak memberikan kita bekal tentang persamaan sekaligus perbedaan ruang muka bumi sekitar kita, dan mendapatkan manfaat serta menjaganya dengan bijaksana.