Selasa sore 25 Februari 2020 setelah merampungkan tugas pekerjaan
yang diamanahkan, saya hendak beranjak pulang, namun urung karena tiba-tiba
hujan turun dengan begitu derasnya di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Saya percaya, bahwa tidak ada yang kebetulan dalam setiap
peristiwa yang terjadi di sekitar kita, termasuk hujan ini, yang membuat jam
pulang dari tempat kerja agak sedikit terlambat dari biasanya. Ada sesuatu yang
bisa kita ambil sebagai makna dan pembelajaran yang akan semakin merendahkan
hati kita di hadapan Sang Khalik. Setelah beberapa saat menunggu, hujan belum
juga reda dan juga masih deras seperti sebelumnya. Saya mengamati setiap butir
hujan yang jatuh di depan kantor, sambil menikmati sejuknya angin yang
berhembus bercampur air yang membasahi. Semakin saya perhatikan, semakin jelas
bahwa ukuran butir air hujan yang jatuh bisa tidak sama. Ada butiran hujan yang
ukurannya lebih kecil, namun ada juga butiran hujan yang jatuh dan ukurannya
lebih besar dari yang lainnya
😐 : Kok bisa begitu paklek? Kenapa ukurannya bisa tidak sama? Bukannya air hujan itu jatuh dari tempat yang sama, dari awan yang sama, dan waktu yang sama?
😊 : Betul thole, tapi ada berbagai faktor di perjalanan dari titik hujan itu jatuh dari awan sampai ke permukaan bumi yang membuat ukuran air hujan bisa berbeda, pelan-pelan kita bahas thole 😃😃
Butiran hujan itu memiliki ukuran tertentu ketika jatuh dari pelukan ibunya, dalm hal ini adalah bentukan awan yang sudah jenuh dengan titik air. Sebelum proses ini terjadi, agak mundur ke belakang bahwa titik-titik air di awan itu berasal dari penguapan daratan, tubuh air, pernafasan makhluk hidup (pernafasan manusia, hewan, dan tumbuhan), termasuk juga segala aktivitas yang berpotensi menyebabkan penguapan. Karena sumber penguapannya berbeda-beda, maka butiran uap airnya juga memiliki ukuran yang berbeda pula, dan nanti selanjutya akan terkondendsasi menjadi awan dan bisa menjadi hujan.
Kita perhatikan butiran hujan di atas. Ukuran butir yang "biru tua" lebih besar dari butir hujan yang "biru muda". Butir hujan yang berukuran lebih besar akan memiliki kecepatan yang lebih besar karena masanya untuk jatuh ke bawah. Ketika jatuh, maka butiran hujan ini akan menumbuk atau bertabrakan dengan butiran hujan yang lebih kecil. Proses tumbukan butir hujan ini disebut sebagai collision. Semakin jauh beda tinggi antara awan dengan permukaan bumi, maka akan semakin banyak terjadi kemungkinan collision-nya. Setelah proses tumbukan maka akan berlanjut dengan proses penggabungan. Butir-butir hujan yang saling bertumbukan saat proses jatuh ke permukaan bumi akan berlanjut menjadi penggabungan. Jika kita perhatikan gambar di atas, butir hujan warna "biru tua" semakin ke bawah ukurannya semakin besar, inilah yang disebut sebagai coalescence.
Gambar 1. Collision dan Coalescence butir hujan Sumber Gambar : https://www.shodor.org/os411/courses/411c/module07/unit02/page04.html |
😐 : Jadi bukan lempeng tektonik saja yang bertumbukan ya peklek? Air hujanpun ternyata juga mengalami proses yang sama.
😊 : Benar thole...itulah yang kita sebut sebagai collision (tumbukan) dan coallescence (penggabungan),😃😃
😐 : Ehh,,, tapi sebentar paklek, kan katanya air hujan tadi saling tumbukan dan saling menggabung, dan semakin lama butiran hujan akan semakin besar. Kenapa kok kita ngga pernah lihat ukuran butiran hujan itu sebesar bola paklek, harusnya bisa kan? Jadi bingung ini saya pallek 😐
😊 : Wahh, udah semakin tajam dan kritis ya analisismu leee....yuk kita bahas lagi pelan-pelan ya thole,😃😃
😐 : Ehh,,, tapi sebentar paklek, kan katanya air hujan tadi saling tumbukan dan saling menggabung, dan semakin lama butiran hujan akan semakin besar. Kenapa kok kita ngga pernah lihat ukuran butiran hujan itu sebesar bola paklek, harusnya bisa kan? Jadi bingung ini saya pallek 😐
😊 : Wahh, udah semakin tajam dan kritis ya analisismu leee....yuk kita bahas lagi pelan-pelan ya thole,😃😃
Tidak ada komentar:
Posting Komentar